Sabtu, 24 November 2012

Problematika Poligami Dalam Persfektif Filsafat Hukum Perkawinan


Source Picture : nambas.wordpress.com


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menciptakan manusia dalam bentuk dan rupa yang sebaik-baikanya, dan dengan rahmat Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu dicurah limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, serta kepada kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam sistematika maupun dalam bahasa. Oleh kerena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak, khususnya kepada Dosen yang mengajar pada mata kuliah ini, dan penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Akhirnya, hanya kepada Allah kita semua mengembalikan segala urusan, semoga amal perbuatan kita menjadi amal sholeh dan mendapat balasan yang berlipat ganda.Amien

Wonosobo, 15 mei 2012
Penyusun


BAB I PENDAHULUAN

Poligami adalah sesuatu yang pada zaman sekarang ini banyak sekali di perbincangkan baik oleh pihak yang sekiranya penting di Negara ini maupun masyarakat biasa sekalipun. Definisi dari poligami tersebut yakni ikatan perkawinan di mana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu bersamaan, jika dilihat dalam persfektif Filsafat Hukum Islam, pandangan para ulama terhadap kasus poligami ini menggolongkan pada tiga pendapat, yaitu:
  • Golongan pertama adalah ulama yang membolehkan menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu.
  • Golongan kedua memperbolehkan suami mempunyai istri maksimal empat secara mutlak.
  • Golongan ketiga berpendapat bahwa berpoligami adalah haram.

Dari ketiga ijtihad tentang poligami ini, masih banyak sekali kontroversi yang diperbincangkan didalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

Karena itu, konteks sejarah ketika turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul) tentang kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yaitu asbabun nuzul ayat Al-qur’an tersebut turun seusai perang uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya, akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan dan masa depannya.

Poligami mempunya implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya karena di dorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya, umumnya istri mempercayai dan mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang cinta terhadap laki-laki lain.


BAB II PEMBAHASAN
Poligami adalah ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, Jadi poligami di sini adalah ikatan perkawinan di mana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu bersamaan.

Dasar Hukum poligami terdapat di dalam al’ Qur an, yaitu:

"Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap (hak-hak), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (Q.S. An-Nisa 3)

Dalam persfektif Filsafat Hukum Islam, secara garis besar pandangan para ulama secara keseluruhan terhadap poligami dapat di golongkan pada tiga pendapat, yaitu:

1. Golongan pertama adalah ulama yang membolehkan menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu yaitu apabila dalam keadaan darurat, jadi apabila tidak dalam keadaan darurat maka di haramkan. Adapuncontohnya yakni apabila Istri sakit-sakitan dan mempunyai penyakit yang tidak dapat di sembuhkan lagi atau mandul maka suami di perbolehkan berpoligami, Di antara tokoh ulama yang termasuk golongan yang disebut sebagai pemikir kontemporer dan perundangan-undangan modern ini adalah Muhammad Abduh, Sayyid Qutb, Fazlur Rahman, Amina Wadud dan lain-lain.

2. Golongan kedua memperbolehkan suami mempunyai istri maksimal empat secara mutlak, dengan syarat mampu mencukupi nafkah keluarga dan mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Pendapat ini di pegangi oleh mayoritas pemikir ulama klasik dan pertengahan baik ulama mazhab fiqh maupun tafsir.

3. Golongan ketiga berpendapat bahwa berpoligami adalah haram, tokoh-tokoh yang mengharamkan poligami adalah al-Haddad dan Habib Bu Ruqayba, mereka mengharamkan poligami yaitu menurut al-Hadad di karenakan dengan turunnya surah An-Nisa ayat 129:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-Nisa 129)

Mestinya poligami harus dicegah karena tujuan perkawinan menurut Al-Haddad adalah untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. sementara dalam kenyataan poligami mengakibatkan sulit sekali melahirkan kehidupan yang harmonis dan tentram antara suami istri dan anak-anak.

Dari ketiga ijtihad tentang poligami ini, saya sendiri lebih sependapat dengan ijtihad golongan pertama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh bahwa poligami adalah suatu tindakan yang tidak boleh atau haram, akan tetapi poligami hanya mungkin bisa di lakukan seorang suami dalam dalam hal-hal tertentu.

Kebolehan poligami sangat tergantung pada kondisi situasi dan tuntutan zaman. Karena itu, konteks sejarah ketika turunnya ayat Al-qur’an (asbabun nuzul) tentang kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yaituasbabun nuzul ayat Al-qur’an tersebut turun seusai perang uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan dan masa depannya.

Walaupun Muhammad Abduh sangat keras dalam mengharamkan poligami, tetapi masih ada kemungkinan untuk melakukannya, yaitu apabila ada ada tuntutan yang benar-benar mengharuskan seseorang melaksanakannya, Larangan atau kebolehan melakukan poligami menurut Abduh lebih banyak di tentukan oleh tuntuatan zaman yaitu keadaan darurat.

Menurut Abduh poligami yang di lakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan hukumnya haram. Apabila alasannya di maksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata menjadi tidak boleh, tetapi jika alasannya karena darurat maka kemungkinan dibolehkannya untuk melakukan tetap ada.

Pendapat berikutnya di kemukakan oleh Fazlur Rahman, Al-qur’an surah An-Nisa ayat 3 memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat adil dengan diikuti dengan penegasan “jika engkau khawatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".Selanjutnya pada Al-qur’an surah An-Nisa ayat 129 di tegaskan ”kamu sekalian kali tidak akan berbuat adil terhadap istri-istrimu walaupun kamu sangat menghendaki demikian".

Fazlur Rahman tidak sependapat bahwa frase berlaku adil dalam surat An-Nisa ayat 3 hanya terbatas perlakuan lahiriah,Jika frase tersebut hanya pada perlakuan lahiriah saja niscaya tidak ada penegasan dan peringatan yang di sebutkan dalam ayat An-Nisa 129. Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa yang di maksud dan yang di tuju Al-qur'an yang sebenarnya adalah menegakkan monogami, atau menyelamatkan Q.S. An-Nisa ayat 3 dan 129 dari pengertian kontradiktif.

Sedangkan Sayyid Qutub dalam kitabnya yang berjudul "fi zilal al qur'an" mengatakan bahwa poligami merupakan perbuatan rukhsah, maka hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak.

Kebolehan ini pun masih di syaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang di tuntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta pembagian malam.sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.

Seperti yang di kemukakan oleh para mujtahid bahwa berpoligami hanya di perbolehkan hanya dalam keadaaan darurat, oleh karena itu hukum asal dari perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetrelisirkan sifat atau watak cemburu, iri hati dan dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, yang bisa menganggu ketenangan dan membahayakan keutuhan keluarga.

Sehingga sudah tepat bila Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya, dengan demikian poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga baik konflik antara suami dan istri ataupun konflik istri beserta anak-anaknya, karena itu poligami hanya di perbolehkan bila dalam keadaan darurat.

Di samping itu poligami mempunya implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya karena di dorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya, umumnya istri mempercayai dan mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang cinta terhadap laki-laki lain.

Istri selalu berharap suaminya berlaku sama terhadap istrinya,Karena itu istri tidak dapat menerima suaminya membagi cintanya kepada perempuan lain. Faktor kedua, istri merasa imperior seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kebutuhan biologisnya.

Tetapi, dalam realitas kehidupan perempuan banyak menemui hal yang membuatnya sedih dan marah, akan tetapi perasaan yang tidak menyenangkan itu ada kalanya lebih ringan jika di bandingkan dengan dengan kesukaran hidup lainnya.

Dalam berbagai keadaan tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga, kemandulan seorang wanita atau penyakit yang diidapnya serta wanita yang kehilangan daya tarik fisiknya atau mental yang akan lebih banyak menyeret terjadinya percaraian dari pada poligami.

Sudah sepatutnya istri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami,Bila suaminya berkehendak untuk melakukan poligami sebagai bukti tanggung jawabnya dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan memakmurkan bumi.

BAB III KESIMPULAN

Poligami tidak dikaramkan secara mutlak dan juga tidak menghalalkan secara mutlak akan tetapi membolehkan hanya dalam kondisi tertentu (darurat), hendaklah kita mengutip pesan Rasulullah dalam sabdanya sebagai nasehat bagi kita semua yakni:

"Barangsiapa yang mempunyai dua istri, dan condong kepada salah satu dari keduanya maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan miring bahunya" (Abu dawud sulaiman al-asy'as as-sajjastani, Sunan abu dawud ,kitab an nikah," Bab fi al-qisni baina an-nisa, dis Dari ayyub dari abi qilabah Dari abdullah ibn yazid al-khatyimmi Dari Aisyah ra).

Mudah-mudahan dengan hadis ini bagi yang akan berpoligami terhindar dari bersikap tidak adil, karena bagaimanapun suami yang berlaku berat sebelah terhadap istri-istrinya di dunia ini akan menerima hukuman dan siksa di akhirat.


Makalah
Problematika Poligami Dalam Persfektif Filsafat Hukum Perkawinan

(Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Ahir Semester IV Mata Kuliah Filsafat Hukum Perkawinan yang diampu oleh Bpk DR. Asmaji Muchtar)

Di Susun Oleh :
Akbar.Romadhon

FAKULTAS SYARI’AH HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2012
----------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................ i

Daftar Isi.................................................................................... ii

BAB I

Pedahuluan................................................................................. 1

BAB II

Pembahasan................................................................................ 2

BAB III

Kesimpulan.................................................................................. 10

Daftar Pustaka............................................................................. 11

-----------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA
  • Khairudin nasution, Perdebatan Sekitar Status Poligami, Musawa, no. 1 maret 2002, hal 58.
  • Ghu Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, cet.1 (Jakata; Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999) hal 51.
  • Rif'at s nawawi, Sikap Islam Tentang Poligami dan Monogami dalam Problematika Hukum Islam Kontomporer oleh Chuzaimah T. Yanggo dan H. Anshari, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1996) hal 108-109.
  • Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, cet. 1. Irsyad Baitus Salam, 2001, hal 27-31.

0 komentar:

Posting Komentar