HUKUM ISLAM TENTANG POLIGAMI DAN DALIL-DALILNYA
Islam sebagai dîn (agama, jalan hidup) yang sempurna telah memberikan sedemikian lengkap hukum-hukum untuk memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Islam telah membolehkan kepada seorang lelaki untuk beristri lebih dari satu orang. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya, yakni maksimal empat orang istri, dan mengharamkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah Swt. berikut: فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا Artinya: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun ke-8 Hijrah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan . Dengan diturunkannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu. Memang, dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat ungkapan: Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan seorang wanita saja sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun lebih dari seorang wanita.
Jika ia lebih suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya atau curang. Inilah makna dari kalimat: yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. Namun demikian, keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuannya—sebagai manusia—untuk mewujudkannya. Sebab, Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya: لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]: 286). Ayat terbut jelas bahwa allah swt, tidak membebankan suatu urusan kepada hamba kecuali urusan itu yang sanggup dipikulnya.
Masalah keadilan yang harus dijalani oleh seorang suami yang beristri lebih dari satu bukanlah masalah keadilan kasih sayang disebabkan masalah kasih sayang tidak sanggup di penuhi oleh seorang suami. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 129 . وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ Artinya: Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung. (QS an-Nisa’ [4]: 129). Berkenaan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas, banyak para muffasirin dalam menafsirkan ayat diatas sama halnya dengan Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya .
Sebaliknya, selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan ‘Aisyah r.a.: كَانَ رَسُولُ الله يقسم بين نسائه فَيَعْدِلُ ثم َيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ, Artinya: Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya). (HR Muslem ).
Dan dalam hadist yang Imam Muslem meriwayatkan عن قتاده : ذكرنا ان عمر بن الخظاب كان يقول اللهم اما قلبى فلا أَمْلِكُ! واما سوى ذلك , فأرجو أن أعدل Artinya: Umar bin khatab Berkata : Ya allah , bahwa sungguh hatiku tidak sanggup aku kuasai untuk berbuat adil! Dan sesuatu yang selain hati, aku berharap saya dapat berbuat adil . Hadis saidina Umar ini mengisyarahkan sebagai penjelas bagi hadist ‘aisyah diatas dengan, demikian dapat dipahami dari dua uraian tersebut bahwa yang dimaksud dengan adil yang tidak disanggupi oleh nabi adalah soal hati. Berlaku adil dalam hal kasih sayang dari pernyataan saidina umar sendiri bahwa hal tersebut tidak mungkin untuk kita lakukan, maka dalam hal adil seorang suami yang beristrikan lebih dari satu adalah bukan adil kasih sayang, dikarenakan adil kasih sayang seorang suami tidak pernah bisa.
karena apabila adil kasih sayang yang dimaksudkan sama dengan halnya tidak diperbolehkan berpoligami disebabkan telah mengsyarat kepada sesuatu yang hampir mustahil untuk dipenuhi. tetapi pada kenyataannya poligami dalam islam ada, sebagaimana firman allah dalam ayat an nisa’ ayat 3(tiga). dan telah dilalukan oleh rasulullah dan para sahabat beliau sekalian. Maka berkesimpulanlah bahwa adil yang dimaksudkan bukanlah adil kasih sayang tetapi adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan hal-hal lain yang bersifat lahiriyah. Menanggapi tentang nabi tidak memperbolehkan saidina ali untuk menikah lagi dengan wanita selain fatimah. Sebagaimana hadist dalam shahih muslem : عن المسور بن مخرمة : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر وهو يقول إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم علي بن أبي طالب فلا آذن لهم ثم لا آذن لهم ثم لا آذن لهم إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم فإنما ابنتي بضعة مني يريبني ما رابها ويؤذيني ما آذاها Artinya : “Dari miswar bin makhramah beliau pernah mendengar saat nabi berada diatas mimbar beliau bersabda : sesungguh bani hisyam bin mughirah meminta izin mereka untuk menikahi ali dengan putri meraka, lalu rasulullah bersabda: aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali sesungguh aku lebih mencintai ali bin abi thalib menceraikan putriku, daripada menikahi dengan putri mereka. Karena putriku adalah darah dagingku aku senang dengan apa yang telah darah dagingku senang dan aku merasa tersakiti dengan apa yang telah darah dagingku merasa tersakiti dengan hal itu” .
Dalam hadist tersebut nabi tidak memberi izin kepada bani hisyam bin mughirah untuk menikahkan putri mereka dengan saidina Ali, karena mempertimbangkan bisa menyakiti hati fatimah, maka akan tersakiti hati rasulullah. Dan juga tersebutkan dalam riwayat yang lain Nabi pernah bersabda : إني لست أحرم حلالا ولا أحل حراما ولكن والله لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وبنت عدو الله مكانا واحدا أبدا Artinya : “Bahwa sesungguhnya aku tidak mengharamkan sesuatu yang halal dan tidak juga menghalalkan sesuatu yang haram, tetapi demi allah tidak bisa menghimpunkan putri rasulullah dan putri musuh allah pada satu orang (Ali Bin Abi Thalib)”.
Dari kata-kata rasulullah “aku tidak mengharamkan sesuatu yang halal. Yaitu berpoligami yang dibolehkan dalam agama. Akan tetapi rasulullah mengharamkan berpoligami karena putri tersebut anak dari pada musuh allah swt . Sebagaimana yang telah kita pahami dari dua buah hadist di atas, bahwa nabi melarang berpoligami pada saidina ali dengan dua alasan : 1. Dapat menyakitin fatimah, maka akan tersakiti hati rasul. 2. Putri yang mau saidina ali nikahi adalah putri dari musuh allah swt (abu jahal). Rasulullah melarang ali menikah dengan wanita selain fatimah bukan dikarenakan diri menikah tersebut (la lizatihi), tetapi karena di tinjau dari segi yang lain (li ‘aridhi), yaitu karena wanita tersebut adalah musuh allah.
HIKMAH BERPOLIGAMI Berpoligami merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama, ada beberapa hikamahh yang terkandung dalam poligami: 1. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Dengan demikian maka berpoligami adalah suatu solusi yang paling tepat untuk memperoleh keturunan dan juga istri yang pertama masih bisa membagi kasih sayang dengannya. 2.
Berpoligami jadi sebagai penyelesaian bahtera kehidupan rumah tangga pada ketika keadaan seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya; ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya. 3. Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya). Maka berpoligami adalah suatu jalan penyelesaian bagi sebahagia lelaki tersebut. Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Dan akan mengakibatkan perzinaan. 4.
fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada lelaki. Oleh sebab itu banyak wanita yang tidak kebagian suami, di takutkan dari kaum wanita sebagai pelampiasan nafsu biologisnya menjurus kepada tindakan-tindakan asusila. Dan sebagainya, maka berpoligami merupakan sosusi bagi wanita. Nah, dari berbagai fakta yang tidak dapat dipungkiri di atas, yang merupakan bagian dari permasalahan umat manusia, kita dapat membayangkan, seandainya pintu poligami ini ditutup maka justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari sini dapat dipahami, bahwa poligami sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu solusi atas sejumlah problem di atas. Maraji` 1. Assaabuni, Rawiul Bayan Tafsirul Ahkam, Darul Kutub Islamiyah 2. Imam An-Nawawi, Syarah Shaheh Muslem 3. Abi Ja’far Muhammad bin Jariril Tabariy, Tafsir Tabariy, Darul Kutub Ilmiayah